Pergub Larangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing Didukung Legislator
Upaya menghentikan peredaran daging anjing dan kucing di Jakarta segera mendapat payung hukum baru. Pemprov DKI Jakarta tengah menyiapkan peraturan gubernur (Pergub) yang secara tegas melarang perdagangan maupun konsumsi daging anjing dan kucing.
Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Francine Widjojo mendukung inisiatif Gubernur Pramono Anung itu. Aturan tersebut penting demi kesehatan masyarakat. Sekaligus perlindungan hewan.
“Saya bersama teman-teman dari Dog Meat Free Indonesia mengusulkan adanya aturan yang lebih tegas lagi melarang peredaran daging anjing dan kucing,” ujar Francine dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/10).
Praktik perdagangan daging anjing dan kucing, sambung dia, sering melibatkan tindakan yang tidak berperikemanusiaan.
Banyak penjualan anjing hasil curian. Bahkan ada yang memberi racun pada anjing dan kucing. Selain itu, peredaran hewan ini juga berpotensi meningkatkan risiko rabies.
“Daerah-daerah di sekitar Jakarta ini masih belum bebas rabies. Jadi, kita harus terus waspada, dan salah satu caranya adalah mencegah hewan rentan atau berpotensi menularkan rabies untuk diperdagangkan maupun dikonsumsi,” ucap Francine.
Ia juga mengapresiasi respons cepat Pemprov DKI. Gubernur DKI Pramona Anung berkomitmen menerbitkan Pergub dalam waktu satu bulan.
“Hal ini juga selaras dengan kebijakan nasional, karena Indonesia menargetkan bebas rabies pada tahun 2030,” kata Francine.
Lahirnya Pergub tersebut, harap Francine, Jakarta bisa menjadi pionir kota besar yang melindungi kesehatan warga sekaligus menegakkan kesejahteraan hewan.
Tak hanya di level Pergub, ia berkomitmen ikut mengawal agar lahir regulasi yang lebih kuat melalui Peraturan Daerah (Perda).
Francine menilai, Perda Nomor 11 Tahun 1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Rabies yang berusia hampir 30 tahun sudah tak relavan. Apalagi ditemukan kesalahan redaksi dalam aturan itu, yakni pada Pasal 4.
“Seharusnya pemelihara hewan diwajibkan memelihara hewan penular rabies di rumahnya, memberikan vaksin rabies, dan melaporkan bila hewannya terindikasi gejala rabies. Namun kata wajib justru tertulisnya dilarang,” ungkap Francine.
Selain itu, ia menilai Pergub Nomor 199 Tahun 2016 juga perlu direvisi karena membatasi pemilik hanya boleh memelihara lima hewan penular rabies tanpa dasar kajian yang jelas.
“Kalau pemiliknya mampu menyejahterakan, mengapa dibatasi hanya lima ekor hewan? Yang perlu diatur adalah kemampuan dan tanggung jawab pemelihara, bukan jumlahnya,” pungkas Francine. (gie/df)


